Selalu ada cerita menarik di balik perjalanan dari Jakarta ke daerah penyangga. Salah satunya di Terminal Bayangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Meski bukan terminal resmi, justru banyak penumpang bus AKAP yang memilih berangkat dari sini ketimbang Terminal Kampung Rambutan. Alasannya sederhana: lebih aman dari calo.
Terminal bayangan ini berada tepat di kawasan Ciracas, dekat dengan Halte BRT TransJakarta dan flyover Jalan Raya Bogor. Aktivitas di sekitarnya hidup sekali. Di kiri jalan berderet pedagang buah dengan label harga jelas. Bagi calon penumpang, membeli buah segar sebelum naik bus rasanya sudah jadi ritual.
Daftar Isi
- Tarif Bus Marita dan Alternatif Rute Menuju Cianjur
- Kenapa Disebut Pasar Rebo?
- Cuaca Cerah, Perjalanan Dimulai
- Fenomena “Ngetem” dan Serbuan Pedagang Asongan
- Ganji-genap di Jalur Puncak: Upaya Mengurai Macet
- Puncak Pas: Keindahan Gunung Gede – Pangrango
- Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan Puncak
- Isu Relokasi dan Masa Depan PKL Puncak
- Istirahat Sejenak di Cisarua
- Perjalanan Lancar Menuju Cipanas dan Istana Presiden
- Tiba di Kota Cianjur
- Lebih dari Sekadar Transportasi
Tarif Bus Marita dan Alternatif Rute Menuju Cianjur
Bicara soal ongkos, bus Marita ukuran sedang dengan kapasitas 30 kursi memasang tarif yang cukup standar. Dari Kampung Rambutan ke Cianjur Rp50.000. Jika hanya sampai Cipanas Rp40.000, sedangkan dari Ciawi ke Cianjur Rp35.000. Harga cukup ramah untuk perjalanan melintasi jalur Puncak yang terkenal padat.

Tarif ini masih tergolong murah mengingat jalur Puncak sering macet, penuh tanjakan, serta membutuhkan keahlian supir bus. Meski ber-AC, kenyamanan standar sudah cukup untuk perjalanan tiga jam lebih.
Kenapa Disebut Pasar Rebo?
Pernahkah terpikir, mengapa kawasan ini dinamakan Pasar Rebo? Apakah dulunya pasar hanya buka setiap hari Rabu? Pertanyaan ini bahkan sering jadi candaan ringan para penumpang yang sedang menunggu bus. Walau belum ada jawaban pasti, mitos nama itu terus melekat.
Cuaca Cerah, Perjalanan Dimulai
Pada pukul 07.58 bus Marita meninggalkan Pasar Rebo. Jalur awal TB Simatupang, lalu masuk ke tol Jagorawi.
Namun, begitu keluar ke arah jalur Cisarua – Puncak, suasana berubah drastis. Macet merayap, banyak angkot ngetem, pedagang asongan berseliweran, dan pengamen mulai masuk bus. Tapi, di situlah seni perjalanan—disuguhi musik dadakan sambil membeli gorengan atau buah potong.
Fenomena “Ngetem” dan Serbuan Pedagang Asongan
Bus berhenti lama di Ciawi, istilahnya “ngetem.” Waktu bisa lebih dari 40 menit.. Ya, penumpang mesti siap dengan recehan. Ada yang menawarkan permen, kacang rebus, hingga singkong goreng seribu tiga biji. Entah kesal atau terhibur, momen ini justru memperlihatkan denyut ekonomi kecil-kecilan masyarakat sekitar jalur AKAP.
Ganji-genap di Jalur Puncak: Upaya Mengurai Macet
Aturan ganjil-genap Puncak setiap Jumat pukul 14.00. Aturan ini sedikit membantu mengurai kemacetan, tetapi tetap saja, jika akhir pekan tiba, Cisarua dan Puncak masih padat. Mengingat kawasan ini adalah ikon wisata pegunungan terdekat dari Jakarta, warga ibukota seakan wajib “hijrah” ke sini tiap Sabtu-Minggu.
Puncak Pas: Keindahan Gunung Gede – Pangrango
Bus Marita kemudian melintasi Puncak Pas, berada di sisi utara Gunung Gede – Pangrango. Panorama kawasan ini terkenal memesona. Angin pegunungan, udara dingin, serta bentangan sawah dan kebun teh menjadi teman perjalanan. Wisatawan biasanya menyempatkan berhenti untuk minum kopi panas atau membeli jagung bakar.
Pemandangan indah ini sering “disabotase” kemacetan. Namun, bagi wisatawan lokal, justru kemacetan jalur Puncak seakan jadi bagian dari ritual liburan. Saking ramainya, pemerintah sampai harus menertibkan pedagang liar.
Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan Puncak
Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR pun ikut mendukung penertiban, demi menata kawasan wisata yang lebih nyaman dan indah.
Isu Relokasi dan Masa Depan PKL Puncak
Salah satu kekhawatiran publik adalah, apakah PKL kehilangan mata pencaharian setelah ditertibkan? Faktanya, pemerintah menawarkan kios di rest area dengan harapan pengunjung justru lebih nyaman belanja. Namun, di lapangan, pedagang asongan menjelma jadi “penjual mobile” dengan sepeda motor. Strategi licin ini memang lebih fleksibel, meski tetap mengganggu estetika dan lalu lintas. Dialog antara pemerintah dan pedagang harus terus berlanjut agar solusi win-win bisa tercapai.
Istirahat Sejenak di Cisarua
Bus Marita sempat berhenti di kawasan Cisarua. Pedagang kopi keliling langsung mengepung. Banyak wisatawan memilih nongkrong sebentar di trotoar sambil menyeruput teh panas. Dari sinilah kemacetan berawal.
Perjalanan Lancar Menuju Cipanas dan Istana Presiden
Selepas Puncak Pas, jalan justru terasa lengang. Setiba di Cipanas, Cianjur, lalu lintas lancar. Terlihat dari jauh bangunan megah Istana Kepresidenan Cipanas, salah satu peninggalan bersejarah yang hingga kini masih digunakan. Bus Marita melewati area ini dengan tenang, tanpa hambatan berarti.
Tiba di Kota Cianjur
Akhirnya pukul 11.26, bus masuk kawasan Cianjur perkotaan. Kota ini terasa asri, dengan angkot berwarna kuning cerah lalu lalang di jalan utama.
Lebih dari Sekadar Transportasi
Ada interaksi dengan pedagang asongan, ada keindahan gunung, ada diskursus tentang penggusuran PKL, dan ada pula histori megah Cipanas.







