Di kota Bogor, makanan khas Sunda bukan cuma sekadar menu makan siang—tapi bagian dari budaya yang hidup dan terus dijaga. Di tengah banyaknya pilihan tempat makan, ada beberapa warung legendaris yang bukan hanya bertahan puluhan tahun, tapi juga jadi langganan banyak orang. Salah satunya adalah Warung Doyong, yang sudah eksis sejak tahun 1979 dan tetap setia di lokasi yang sama di Jalan Pahlawan, Bogor Selatan.
Warung Sunda Legendaris : Warung Doyong Jalan Pahlawan
Uniknya, warung ini nggak pernah buka cabang, tapi setiap harinya bisa menjual sampai 400 ekor ayam pejantan. Bukan sembarang ayam, yang dipakai adalah ayam pejantan berusia sekitar tiga bulan dengan berat 7-8 ons—nggak lebih dari itu. Soalnya, kalau ayamnya terlalu tua, dagingnya jadi alot. Ayam di sini dimasak dengan bumbu ungkep khas yang pakai rempah-rempah klasik seperti lengkuas, serai, ketumbar, dan yang paling spesial: kecombrang. Nggak heran rasa ayam goreng serundengnya jadi andalan.
Selain ayam, yang bikin pelanggan datang lagi dan lagi adalah semur jengkolnya. Dalam sehari bisa habis sampai 15 kg jengkol pilihan. Nggak sembarang jengkol dipakai. Hanya yang cukup tua dan legit yang dijadikan semur, supaya rasanya benar-benar nendang.
Kalau mampir ke warung Sunda, biasanya bakal disambut dengan deretan lauk-pauk yang bikin bingung mau pilih yang mana. Ini bukan tanpa alasan. Dalam tradisi Sunda ada kebiasaan makan bareng atau ngariung, jadi warung makan menyediakan aneka hidangan dalam porsi yang cocok untuk dinikmati rame-rame. Di Warung Doyong misalnya, ada lebih dari 20 jenis masakan rumahan yang disiapkan segar setiap hari.
Jangan lupakan lalapan. Bagi orang Sunda, lalapan bukan cuma pelengkap, tapi bagian penting dari menu utama. Bahkan keberadaan lalapan tercatat sejak abad ke-10 di Prasasti Taji. Dulu dikenal dengan nama “kuluban Sunda,” sayuran mentah ini menggambarkan kedekatan masyarakat Sunda dengan alam dan kebiasaan makan sehat sejak zaman dulu.
Warung Sayur Asem Purwakali Lawang Gintung
Lanjut ke warung Sayur Asem Purwakali. Berlokasi di Jalan Lawang Gintung, Bogor Selatan, tempat ini udah dikelola sampai ke generasi ketiga. Warungnya berdekatan dengan situs budaya dan makam keramat Mbah Dalam, jadi nama warungnya pun ikut dikenal luas.
Sayur asem di sini berbeda dari versi Jawa yang biasanya pakai daun dan biji melinjo. Di Warung Purwakali, isiannya lebih simpel tapi kaya rasa—ada gabus, jagung muda, jagung pipil, dan kacang panjang. Rasanya segar dan seimbang.
Menu lain yang nggak kalah spesial adalah empal goreng. Proses masaknya unik, karena bukan diungkep tapi direndam dalam bumbu khas yang isinya bawang putih, bawang merah, ketumbar, gula, garam, dan asam Jawa. Hasilnya? Daging empalnya empuk dan punya rasa manis-asam-asin yang khas banget. Bahkan dari aromanya aja udah bikin perut keroncongan.
Dan seperti kebanyakan warung Sunda, sambal jadi primadona. Ada sambal untuk lauk dan lalapan. Dari sisi budaya, kebiasaan makan sambal ini juga ada latar belakangnya. Karena udara di tanah Sunda cenderung sejuk, sambal jadi salah satu cara alami untuk menghangatkan tubuh.
Di balik sederet menu yang terlihat sederhana, warung-warung Sunda ini menyimpan warisan kuliner yang kaya rasa dan nilai budaya. Bukan cuma soal enak di lidah, tapi juga ada cerita, tradisi, dan cinta terhadap makanan rumahan yang tetap terjaga puluhan tahun.