Kalau lagi jalan-jalan ke Bogor dan nemu bangunan tinggi dengan ujung mirip senjata tajam melengkung ke samping, nah itulah Tugu Kujang—ikon kebanggaan warga kota hujan. Bukan cuma soal bentuknya yang unik, ternyata Tugu ini punya banyak cerita, mulai dari sejarah, filosofi, sampai hal-hal yang bikin merinding.
Sejarah Tugu Kujang Bogor
Mungkin banyak yang belum tahu, kalau Kujang awalnya bukan senjata perang, tapi alat pertanian. Tapi seiring zaman bergulir, bentuknya jadi berkembang dan lambat laun dipandang sebagai pusaka sakral. Bahkan di masa Kerajaan Siliwangi, Kujang dianggap sebagai simbol status. Nah, yang berdiri di Tugu Kujang sekarang ini ternyata adalah jenis “Kujang kuntul,” bukan “ciung mata sembilan” yang seharusnya dipakai raja.
Uniknya, bangunan setinggi 25 meter ini berdiri di lahan strategis, tepat di perempatan utama kota. Tapi yang bikin heboh bukan cuma ukurannya, melainkan proses pembangunannya yang penuh kejadian aneh. Bayangin aja, waktu mau ditancapkan, Kujang raksasa itu susah banget dipasang. Katanya sih, ada hembusan angin aneh yang datang tiba-tiba waktu helikopter coba meletakkannya. Bahkan sampai ada pekerja yang meninggal dunia karena jatuh dari atas rangka bangunan.
Karena gangguan itu, proyek sempat dihentikan. Akhirnya dipanggillah para tokoh masyarakat dan dilakukan ritual babakti, semacam kerja gotong royong yang melibatkan tradisi Sunda. Setelah itu, baru deh pemasangan jadi lancar. Kujang bisa ditancapkan tanpa kendala, menghadap langsung ke arah makam Prabu Siliwangi. Masyarakat percaya, kejadian ini bukan kebetulan.
Pembangunan Tugu Kujang sendiri dimulai pada 4 Mei 1982, tepat di masa Walikota Ahmad Sobana. Biayanya saat itu mencapai 80 juta rupiah, dan diperkirakan pembuatannya memakan waktu sekitar 6 bulan. Bahkan, bentuk Kujang yang dipilih pun dianggap kurang tepat untuk merepresentasikan raja besar seperti Prabu Siliwangi.
Tapi meski ada kekeliruan, warga Bogor dan tokoh Sunda tetap menghargai niat baik pemerintah saat itu. Bahkan kota-kota lain di Jawa Barat akhirnya ikut membuat ikon serupa.
Yang bikin sedih, dulu dari belakang Tugu Kujang kita bisa lihat Gunung Salak yang megah banget. Rasanya kayak landmark yang dulunya berdiri gagah sekarang harus bersaing sama bangunan modern.
Tugu Kujang juga nggak berdiri sendirian. Tapi kalau dilihat lebih dekat, bangunan itu justru penuh makna lokal. Ada tulisan dalam bahasa Sunda kuno yang artinya kira-kira: “Hari ini kita menikmati hasil dari apa yang dilakukan para leluhur, sekarang saatnya kita berkarya untuk generasi mendatang.” Dalam filosofi Sunda, ini jadi pengingat bahwa setiap generasi punya tanggung jawab untuk meneruskan nilai-nilai luhur.
Kalau dilihat dari bawah, struktur utama Tugu Kujang berbentuk segitiga piramida. Ini bukan asal-asalan, lho. Simbol itu dikenal sebagai “tritangtu Sunda buana,” yang menggambarkan tiga peran penting dalam tatanan kepemimpinan Sunda: Rama (penasihat), Ratu (raja), dan Resi (pembimbing keagamaan). Jadi jelas, Tugu Kujang bukan cuma pajangan, tapi punya nilai filosofis mendalam.
Walaupun ceritanya penuh lika-liku dan sedikit mistis, Tugu Kujang tetap jadi ikon yang dicintai warga Bogor. Setiap orang yang lewat, baik pendatang maupun orang asli, pasti langsung sadar, “Oh, ini Bogor.” Dan dari situ juga, kita jadi tahu kalau di balik sebuah bangunan, selalu ada cerita panjang yang kadang nggak pernah kita duga.