Sebelum memutuskan menjadi negara merdeka bernama Indonesia, Sekitar 200 tahun yang lalu daerah nusantara merupakan koloni dari negara eropa. Pemerintahan kolonialisme yang berlangsung dari 1800an sampai 1942 menyisakan jejak pada kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Setelah bangkrutnya persekutuan dagang belanda atau VOC kemudian dibubarkan, kekuasaan VOC atas nusantara dari 1619 kemudian diserahkan kepada kerajaan belanda yang pada waktu itu masih dijajah oleh republik perancis.
- Jalan Pos Daendels
- Penjajahan Inggris
- Pemerintahan Hindia Belanda
- Tanam Paksa
- Politik Etis
- Pergerakan Nasional
Agar dapat menjalankan pemerintahan pada daerah koloni nusantara, Republik Bataaf tetap melanjutkan gaya pemerintahan ala VOC dengan tambahan sistem kontrol terbatas pada area jajahan. Daerah koloni yang tadinya menjadi sumber eksploitasi ekonomi namun berkembang secara politis ketika napoleon bonaparte yang berhasrat untuk membuat pulau jawa sebagai pusat komando dalam rangka untuk menguasai india yang pada saat itu dikuasai inggris.
Daftar Isi
Jalan Pos Daendels
Gubernur kolonial perancis belanda untuk wilayah jawa pertama yaitu Herman Willem Daendels datang ke batavia pada 5 januari 1808. Sebagai utusan prancis yang bertugas melindungi jawa dari serangan inggris, Daendels banyak membangun infrastruktur serta perubahan sistem kolonial. Beberapa proyek yang terkenal buatan Daendels adalah pembangunan sejumlah benteng baru, kantor pemerintahan di Weltevreden, dan yang paling besar adalah pembangunan jalan pos dari anyer di banten hingga panarukan yang terletak di timur jawa.
Daendels sangat mengutamakan infrastruktur bagi orang kaya dan pemerintah kolonial dalam menyatukan pulau jawa agar perjalanan menjadi lebih cepat. Sesuai dengan namanya, jalan pos diutamakan digunakan untuk pengiriman berupa surat dan barang terkait pesan maupun distribusi peralatan militer lainnya antar pemerintah kolonial maupun bagi pemerintah daerah. Selain untuk keperluan militer, distribusi produk komoditas pertanian seperti padi, kopi, gula, dan lainnya juga melalui jalur daendels ini. Hanya saja warga yang biasa menggunakan pedati untuk pergi ke pasar tidak mampu melalui jalan pos karena dikenakan biaya penggunaan jalan yang sangat tinggi. Berikut kota yang dilewati rute jalan pos
- Bantam : Tangerang, Bantam, Anjer
- Batavia : Buitenzorg, Meester Cornelis, Batavia
- Preanger : Soemedang, Bandoeng, Ciandjoer
- Cheribon : Tagal, Cheribon
- Java : Soerabaja, Grissee, Pacoalongan, Candaal, Lassum, Rembang, Demak, Semarang
- Balambangan Oost Hoek : Panaroecan, Probolinggo, Pasoeroean.
Daendels membagi pulau jawa kedalam beberapa distrik residensi dengan masing-masing dipimpin oleh pegawai pemerintahan eropa yang bernama residen. Setiap residen bertanggungjawab langsung dibawah gubernur jenderal untuk berbagai hal yang terjadi di wilayah residensi yang dipimpin seperti pertanian dan hukum.
Ketika nusantara dipimpin oleh gubernur jenderal daendels, paham revolusi perancis yang menjunjung tinggi hak kepemilikan mulai dipraktekkan. Jika sebelumnya hak milik bisa dirampas sesuai keinginan penguasa, namun hal tersebut sudah dihilangkan pada zaman daendels dengan menghadirkan negara untuk memberikan kepastian hukum di masyarakat.
Meskipun dinilai tidak berhasil di bidang militer, Daendels sangat ulung pada bidang administrasi dengan berbagai kebijakan baru seperti memasukan unsur militer pada aktivitas administrasi, membuat kerangka sistem hukum yang memadukan sistem penghakiman berjenjang dari daerah lokal, keresidenan, sampai mahkamah agung batavia yang merupakan bagian dari program sentralisasi jawa di batavia.
Era Daendels juga mulai menetapkan pejabat sipil eropa yang memimpin wilayah bekas VOC disejajarkan sehingga setingkat dengan penguasa lokal. Saat itu, Mereka tidak hanya sebagai perwakilan pemerintah namun setara dengan raja di wilayah tesebut. Hal ini dinilai melanggar aturan dari kerajaan tersebut sehingga pejabat sipil ini tidak lagi menghormati raja ketika misalkan bertemu di jalan atau penempatan tempat duduk yang setara dengan raja.
Penjajahan Inggris
Jan Willem Janssens yang menggantikan Daendels pada tahun 1811 gagal melindungi jawa dari serbuan kerajaan inggris. Pemerintah kerajaan inggris kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles menjadi gubernur jenderal jawa. Tidak hanya melanjutkan kepemimpinan terdahulu, Raffles juga mereformasi sistem administrasi, polisi, dan peradilan di jawa serta mulai menerapkan aturan pajak kepemilikan tanah di jawa.
Sistem yang menyatakan bahwa setiap jengkal tanah di jawa merupakan tanah negara menyebabkan rakyat harus membayar kepada pemerintah termasuk pengambilalihan tanah milik sultan. Pada era berkuasa yang hanya 5 tahun ini, Raffles mengadopsi budaya pemerintahan ala kerajaan eropa yang ditujukan untuk mendidik orang pribumi agar nantinya dapat menjadi pihak yang dapat diajukan kerjasama untuk kepentingan negara induk.
Setelah kerajaan belanda mengambilalih jawa kembali pada 1816, gaya pemerintahan sebelumnya ala daendels dan raffles tetap diteruskan dengan nama baru yaitu pemerintah hindia belanda sesuai dengan undang-undang dasar yang dibuat pada desember 1818. Sistem langsung dan dualistik digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga memungkinkan selain adanya hierarki belanda juga ada hierarki pribumi yang menjadi perantara antara rakyat pribumi dengan pejabat sipil eropa.
Pemerintahan Hindia Belanda
Aristokrat jawa menjadi bagian tertinggi di dalam struktur hierarki pribumi dengan memanfaatkan sistem feodalisme yang sudah ada. Menurut Multatuli, dalam menguasai jawa tidak perlu mengetahui pengetahuan politik yang canggih dan rumit. Hanya dengan menjanjikan sedikit hadiah bagi orang terpandang seperti priyayi maupun bupati di daerah tersebut untuk menjadi pendukung kebijakan pemerintah hindia belanda, maka rakyat pribumi akan dapat dengan mudah dikontrol karena rakyat pada waktu itu lebih hormat kepada golongan tersebut.
Peningkatan dominasi belanda atas jawa kemudian mulai menimbulkan perlawanan salah satunya dari bangsawan jawa bernama pangeran diponegoro. Perlawanan yang dikenal perang jawa ini memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk terutama kalangan ulama menjadikan perang ini sebagai upaya jihad.
Ajang perlawanan ini juga dijadikan sebagai perang ideologi yang memperjuangkan adat istiadat, kepribadian dan agama. Perang 5 tahun ini menimbulkan korban jiwa lebih dari 215.000 orang dengan mayoritas korban adalah orang jawa. Dari segi ekonomi, perang jawa sangat membebani keuangan dan pembiayaan kerajaan belanda.
Tanam Paksa
Pada tahun 1830, Gubernur jenderal Van den Bosch menyadari jawa sebagai sumber pemasukan utama pemerintah hindia belanda kemudian mulai memberlakukan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa. Sistem ini membuat pemerintah hindia belanda memonopoli perdagangan komoditas pertanian untuk ekspor dan mendikte jenis komoditas yang harus ditanam oleh petani jawa sehingga masyarakat tidak lagi bebas dan terpaksa melakukan kegiatan cocok tanam sesuai keinginan pemerintah belanda serta menyerahkan seperlima hasil pertanian kepada pemerintah hindia belanda dengan kompensasi uang yang ditentukan pemerintah kolonial secara sepihak.
Sistem penindasan ala tanam paksa membuat petani menjadi sengsara namun juga menghasilkan keuntungan besar bagi kerajaan belanda dengan kontribusi lebih dari 30% pada tahun 1860 sampai 1866.
Dosa tanam paksa mulai dibuka dengan terbitnya buku max havelaar yang membongkar praktek penindasan tersebut. Buku ini menjelaskan perdagangan kopi yang pada waktu itu merupakan komoditas global berharga dibuat dengan cara yang tidak berprikemanusiaan yang memang pada waktu abad ke-19 menjadi perhatian warga eropa. Buku tersebut membuka mata warga eropa bahwa kemakmuran yang didapatkan mereka dihasilkan atas penderitaan di negara ketiga. Oleh karena itu, Max Havelaar menjadi terobosan yang pada analisisnya mengaitkan feodalisme dengan kolonialisme.
Ketika kelompok liberal menguasai parlemen belanda pada 1870, mereka menghentikan sistem tanam paksa dan mulai menerapkan era liberal pada wilayah kolonial dengan memasukan nilai kapitalisme swasta pada waktu itu dengan harapan akan memberikan keuntungan bagi pribumi. Era liberal di indonesia pada prakteknya tidak membuat pribumi menjadi lebih baik dari zaman tanam paksa.
Kemunculan mentalitas imperialisme baru di negara eropa pada abad ke 19 membuat perlombaan pencarian koloni baru demi status dan kepentingan ekonomi. Munculnya era ini mendorong pemerintah hindia belanda melakukan ekspansi geografis ke daerah yang belum berhasil dikuasai.
Kebijakan ekspansi ini tentu saja menimbulkan perlawanan dari penduduk setempat. Perang aceh pada 1873 adalah salah satu akibat dari kegiatan ekspansi ini dengan cut nya dien sebagai tokoh perlawanan.
Politik Etis
Setelah seluruh di wilayah nusantara dikuasai belanda, pada 1901 Ratu Wilhelmina menerapkan politik etis yang bertujuan meningkatkan standar kehidupan rakyat di koloni hindia belanda.
Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah hindia belanda dengan membangun infrastruktur yang berpihak ke pribumi seperti sekolah bumiputera, pembukaan transmigrasi, dan pembangunan irigasi. Namun, pada prakteknya kebijakan tersebut lebih banyak menguntungkan rezim dan antek pemerintahan kolonial seperti pembangunan irigasi yang hanya dialirkan ke perkebunan milik orang belanda atau edukasi pribumi yang hanya sampai MULO dan ALS maupun dokter jawa yang lebih murah ketimbang mendatangkan langsung dari eropa.
Walau tidak banyak memberikan kemakmuran, dampak politik etis memunculkan golongan kaum terdidik bumiputera. Dari kelompok inilah tercetus ide mulai membangkitkan gagasan kebangsaan nasionalisme dari golongan bumiputera.
Pergerakan Nasional
1908 adalah tahun dimana berdirinya budi utomo yang memicu berbagai organisasi kebangsaan lainnya dengan tujuan menyebarkan nasionalisme di masyarakat. Partai politik dan organisasi progresif seperti indische partij, sarekat islam, jong java, jong sumatera dan partai komunis indonesia muncul membuat sadar masyarakat bahwa selama ini mereka dibodohi oleh penjajah sehingga harus memperjuangkan kemerdekaan.
Melihat keadaan tersebut, pemerintah Hindia Belanda bereaksi dengan melakukan tindakan represif kepada organisasi yang bertindak submersif ketika pemberontakan PKI tahun 1926 yang menyebabkan ribuan orang dibuang ke boven digoel, papua.
Meski mendapatkan tindakan represif, perlawanan aktivis kian berkembang dengan berdirinya partai nasional indonesia pada tahun 1927. Gerakan yang dipimpin oleh Soekarno ini memiliki tujuan untuk kemerdekaan atas indonesia. Untuk meredam pergerakan, rezim pemerintah belanda kemudian mengasingkan beberapa pemimpin gerakan nasionalis seperti sjahrir, hatta, dan soekarno ke luar jawa.
Pada masa perang dunia kedua di tahun 1939 dengan kejatuhan belanda setelah serangan nazi jerman dan penyerbuan jepang ke hindia belanda, membuat pemerintah hindia belanda menyerahkan kekuasaan kepada kekaisaran jepang pada tanggal 8 maret 1942. Sehingga pada hari itu era kolonialisme belanda di tanah nusantara berakhir.